Total Tayangan Halaman

Senin, 12 Maret 2012

Biji Unggul Yang Sia Sia


Diambil dari “Intan Dalam Debu” Volume 29, Edisi Juni 2009.
ditulis oleh Welly Sanjaya

Ternyata tanah yang subur karena waktu bisa berubah menjadi tanah yang tandus, bahkan menjadi tanah comberan. Sayang biji unggulyang telah tumbuh menjadi layu dan membusuk dan akhirnya menjadi “Biji unggul yang sia-sia“.
Alkisah di suatu desa, hiduplah seorang Petani. Beliau memiliki biji unggul yang bisa menyelamatkan jiwa manusia. Cita-citanya luhur, Beliau ingin menyelamatkan banyak jiwa dengan biji unggulnya. Disetiap jiwa ibarat tanah yang harus ditanami biji itu, pada jiwa-jiwa pilihannya ditanami biji unggul itu, dipelihara dan disirami dengan segala kemampuannya agar tumbuh subur biji unggul itu dan jiwa itu terselamatkan.
Dari tahun ke tahun Beliau menanam dari satu tanah ke tanah yang lain, biji unggul itu ada yang bersemi, berakar dan tumbuh subur, tapi ada juga yang layu, kerdil dan tidak tumbuh bahkan mati.
Dari pertama yang hanya sebiji dua biji ditanamnya, menjadi lebih banyak ditanamnya, selanjutnya mulai ditebarnya biji-biji itu ke setiap tanah yang dijumpainya. Tetapi sayang, tak semua tanah yang kejatuhan biji unggul itu adalah tanah yang baik untuk ditanami. Ada biji yang jatuh di tanah subur, ada yang jatuh di tanah tandus dan ada juga yang jatuh di tanah kubangan hingga bijinya tenggelam. Ada juga yang jatuh di tanah comberan, bijinya membusuk dan mati. Semua itu dilakukan hanya karena semangat si Petani yang berbudi luhur, menganggap semua tanah adalah baik adanya, semua jiwa yang ada di tanah itu ingin diselamatkan.
Demikian waktu berjalan dengan cepat, sang petani mulai kewalahan untuk merawat biji-biji yang ditanam, dia mulai meminta pembantu-pembantunya untuk ikut mengurus dan merawat biji-biji yang telah ditanamnya, begitu pula ikut menebar biji-biji baru ke tanah-tanah baru. Dari cara dengan menebar biji begitu saja, sedikit demi sedikit mulai diseleksinya tanah-tanah yang akan ditanami dan tanah yang akan ditanami biji unggul oleh para pembantunya dibajak dan dipupuk dulu agar tanah itu siap untuk ditanami, agar tidak banyak lagi biji-biji yang jatuh ke tanah yang tidak subur hingga menjadi mubasir.
Begitulah para pembantunya bekerja, memang tidak semua pembantunya adalah pembantu yang cakap dan mengerti memilih tanah yang baik, karena juga memang semua tanah tampak di luarnya adalah sama. Ditambah dengan semangat luhur ingin menyelamatkan semua jiwa yang ada dalam tanah dari Sang Petani, sehingga hasilnya juga belum jauh berbeda, meskipun sudah jauh berkurang biji yang jatuh di tanah yang sia-sia.
Semakin lama semakin banyak biji yang ditanam, semakin banyak pula pembantu yang diajaknya untuk membantu merawat dan menyirami biji yang telah tumbuh itu. Dengan berjalannya waktu, semakin banyak jumlah pembantu Sang Petani, ternyata menimbulkan banyak persoalan baru. Beliau juga harus sibuk dengan pekerjaan barunya untuk mendidik para pembantunya, tidak semua pembantunya cakap dan bisa mengerti kemauan hati Sang Petani yang luhur.
Diantara pembantunya mulai timbul persaingan, begitu pula banyak yang mulai tidak setia bekerja untuk Sang Petani, mengesampingkan metode yang diajarkannya dan lebih mantap untuk belajar metode yang lain. Bahkan ada sejumlah pembantu yang membelot dengan membawa serta tunas-tunas dari biji-biji yang telah ditanam kepada petani dari kampung lain, membocorkan rahasia ilmu biji unggul ke pihak lain. Bahkan sejumlah pembantunya telah berkhianat menjadi pembantu petani dari kampung lain, hingga kejadian yang terakhir ini telah membuat hati Sang Petani sedih dan kesal.
Sungguh semua itu sangat melelahkan hati Sang Petani, ibarat mengangkat kuali menanak nasi. Tiada diangkat nasi telah matang, mengangkat kualinya terpaksa menahan panas dan menerima arang hitam di kedua tangan. Banyak urusan dan pikiran, meskipun tidak dipikir tetapi terasa mengganjal dihatinya. Sungguh sayang para pembantunya telah banyak membuat kesal hatinya. Ternyata tanah yang subur, karena waktu bisa berubah menjadi tanah yang tandus, bahkan menjadi tanah comberan. Sayang biji unggul yang telah tumbuh, menjadi layu dan membusuk dan pada akhirnya menjadi biji unggul yang sia-sia.
Kini di usianya yang menjelang senja, Sang Petani belum dapat berlega hati, dia masih harus tertatih-tatih menebar biji-biji itu. Juga masih harus mengajar cara menanam dan memelihara kepada para pembantunya, sebagian besar para pembantunya masih sulit diandalkan. Apakah cara mengajarnya kurang tepat ? Tentu tidak. Hanya karena memang tanah yang subur dan unggul sulit dicari. Biji-biji ungggul yang ditanam banyak yang tidak tumbuh subur, seperti yang diharapkan. Yang diharapkan hanya semoga biji-biji unggul yang telah tumbuh menjadi tunas, tidak menjadi biji-biji unggul yang sia-sia !

Salam TAO

0 komentar:

Posting Komentar