Total Tayangan Halaman

Minggu, 26 Februari 2012

Tim Futsal Muda Mudi Sinar Sejati @ 26 Feb 2012

0 komentar

Tim Futsal Muda Mudi Sinar Sejati @ 26 Feb 2012

Inilah salah satu kegiatan Muda Mudi Sinar Sejati, Semoga bisa menjadi kegiatan yang rutin. Xie Shen En.

Kamis, 23 Februari 2012

Bagaimana Sejarah THAY SUI ?

0 komentar
By Nie Tjing Wen in TAO INDONESIA ( Thay Shang Men )


Diambil dari arsip diskusi di http://siutao.com


Diskusi antara DaoRen, R3Qul3M, ZOOM, SHAN MAO & Conan, pada Oktober 2006.
Sedikit sekali orang yang mengetahui tentang Thay Sui dan sedikit sekali orang yang tahu kalau Thay Sui itu sebenarnya ada 60.    Saya juga mau bertanya, apakah ada yang tahu tentang sejarah masing2 Thay Sui yang berjumlah 60 itu ?    Siapa saja mereka ?    Dan kenapa mereka terpilih menjadi Dewa Thay Sui ?    Atau adakah buku referensi yang dapat saya baca ?
Dari “Cerita/Legenda” yang berkembang di masyarakat, Thay Sui adalah Dewa atau sekelompok Dewa (ada 60 Dewa) yang menguasai peredaran waktu, oleh sebab itu Dewa ini sangat disegani sekaligus dihormati.   Pemujaan Thay Sui tercatat mulai jaman dinasti Yuan (1280-1368) yaitu pada waktu diadakan sembahyang besar yang dilakukan oleh para menteri dan cendekiawan yang tergabung dalam Akademi Penelitian Sejarah Kerajaan.
Dalam upacara2 keagamaan pada jaman sebelumnya yaitu pada jaman Tang dan Song, sembahyang kepada Dewa tersebut belum ditemui.   Sembahyang kepada Dewa Thay Sui dilakukan apabila ada sesuatu pekerjaan besar dan penting akan dilaksanakan.   Thay Sui adalah termasuk Dewa Bintang yang kira2 disamakan dengan Yupiter.    Sebab itu altar untuk upacara sembahyang kepadanya didirikan di tempat terbuka.
Pemujaan besar2an di altar seperti ini dimulai pada jaman permulaan Dinasti Ming, ketika Kaisar Ming pertama, Tai Zu memerintahkan agar pemujaan Dewa ini dilakukan seluruh negeri.   Menurut legenda, Thay Sui Ye adalah Putra Kaisar terakhir dari Dinasti Yin atau Shang Zhou Wang yang lalim, Ibunya, permaisuri Jiang dibunuh secara kejam oleh Kaisar atas hasutan selirnya Daji.   Ketika dilahirkan, ia berbentuk gumpalan daging yang aneh.   Daji menghasut Kaisar Zhou, agar bayi aneh itu segera dibuang saja sebab berasal dari penjelmaan siluman.
Seorang pertapa menemukan gumpalan aneh itu dan dibelah selaput pembungkusnya dengan pisau dan seorang bayi lalu muncul dari dalamnya.   Pertapa ini menyerahkan bayi itu kepada He Xian Gu (salah satu dari 8 Dewa) yang selanjutnya mengasuh dan membesarkannya.   Oleh pertapa itu bayi ini diberi nama Yin Qiao alias Yin Ting Nu.
Setelah berusia cukup, He Xian Gu memberitahu bahwa ia bukan anaknya melainkan Putra Kaisar Zhou yang dibuang atas hasutan selir Daji.   Yin Qiao minta ijin pada penolongnya untuk membalas kematian Ibunya.   Dewi Thian Shang Sheng Mu memberinya 2 macam senjata pusaka berupa sebuah Kapak Perang dan sebatang Toya Emas.
Ketika pasukan Shang kalah perang, Yin Qiao menangkap Daji di menara tempat Daji tinggal dan membawa kehadapan kaisar Wu Wang yang kemudian mengijinkan membunuh Daji untuk membalas sakit hatinya.    Setelah peperangan selesai YI HUANG DA DI menganugerahkan pangkat Thay Sui kepadanya.
Dalam Novel Feng Shen, ada versi yang agak berbeda dengan yang dikatakan di atas.   Dikisahkan bahwa Yin Qiao dalam perjalanan turun gunung untuk bergabung dengan pasukan Jiang Zi Ya atas perintah Gurunya untuk menumbangkan dinasti Shang, bertemu dengan Shen Gong Bao yang kemudian menghasutnya berbalik melawan Jiang Zi Ya.
Ketika dalam pertempuran ia berhadapan dengan Ran Deng Dao Ren, pertapa sakti dari pihak Jiang Zi Ya, ia terbunuh.   Setelah diadakan pelantikan para Dewa, Yin Qiao diangkat sebagai Tai Sui Xing Jun.   Cerita ini sumber dari buku Dewa-Dewi Kelenteng.
Setiap tahun upacara kepada Thay Sui diadakan sesudah Tahun Baru Imlek oleh umat Tao yaitu upacara Pou Un.
Terus, mau tahu sejarah ilmiahnya ???
Sebenarnya, Thay Sue itu bukan wujud sesosok Dewa atau apa !    Namun, cuma sebuah istilah dalam Ilmu Astronomi Tiongkok Kuno.   Ahli Astronomi Tiongkok Kuno dulu menyadari bahwa dari 5 bintang yang besar, terutama Muk Xing (Bintang Kayu) mengorbit dalam peredarannya selama 12 tahun, tepatnya 11,88 tahun (hitungan tahun bumi) dalam satu lintasan yang lengkap.  Artinya kalau dihitung dari satu titik dilangit sana, MU XING akan beredar sesuai lintasan orbitnya dan kembali ke titik tersebut dalam kurun waktu 12 tahun bumi.
Ini berarti, saat MU XING bergerak dengan jarak 1/12 edaran orbitnya, maka dibumi sudah berlalu waktu selama 1 tahun dan kembali ke awal tahun di Bumi yang kita tempati ini.   Maka dari itu, orang2 kuno jaman dulu menyebut MU XING sebagai Sue Xing (Bintang Umur, Sue = umur).    MU XING beredar satu putaran berarti 12 tahun dan 12 tahun ini dipakai untuk menentukan standard tahun dan umur yang dijabarkan dalam 12 istilah tahun waktu dan lebih mudahnya dilambangkan dalam bentung Nama Binatang (SHIO).
Para Ahli Astronomi Tiongkok juga mengamati bahwa MU XING ini beredar dari Barat ke Timur, sedangkan Bintang2 lainnya beredar dari Timur ke Barat, hal ini akan menyulitkan mereka dalam menentukan tahun dengan khusus melihat MU XING saja.   Oleh karena itu, mereka lantas secara abstrak menentukan seolah-olah diseberang posisi MU XING diandaikan ada sebuah “Bintang” yang tidak kelihatan.   Yang bergerak berbalik/berlawanan arah dari gerakan MU XING.
Dengan demikian maka akan sesuai dengan arah gerakan bintang2 lainnya, sehingga memudahkan dalam menentuhan waktu dalam astronomi Tiongkok Kuno.   Nah “Bintang” yang tidak kelihatan/nampak itulah dinamakan THAY SUE (Sue – Yin/Bintang Sue yang abstrak).   Kata “THAY SUE” berarti SUE yang paling awal.
Karena itu kita tahu kalau Para Astronomi Tiongkok kuno itu menggunakan arah dan posisi “Bintang Maya” ini sebagai petunjuk untuk menentukan awal sebuah tahun baru.   Sedangkan bagi manusia, setiap penambahan satu tahun berarti penambahan umur juga, makanya “Bintang Maya” diberi nama THAY = yang awal, sedangkan SUE = Umur.   Jadi, THAY SUE adalah Bintang yang paling awal menentukan hitungan umur seseorang !!! He… he… he… Lha…
Lantas kenapa dalam sistem peramalan tertentu menggunakan “sosok” tertentu, itu tak lain yah… seperti pertanyaan kenapa SHIO koq menggunakan nama2 binatang tertentu sebagai lambangnya !!!!    Tak lain yah… cuma sebagai patokan semu saja, untuk sekedar mempermudah suatu perhitungan dalam praktek suatu ritual keagamaan.
Lalu kenapa ada yang dilambangkan dengan sosok Para Jendral ???
Itulah sebabnya, kenapa kita selalu diwanti2 agar jangan sampai terjerumus ke dalam jurang ketahyulan, cuma gara2 ngak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang abstrak.   Tapi juga jangan sampai tidak bisa menangkap sebuah kesempatan spiritual, gara2 terlanjur menganggap sesuatu yang nyata sebagai ilusi belaka !!!
Kalo begitu yang “Chiong Thay Sui” itu bener apa ngak ???
Seperti halnya pengertian kata Thay Sui, maka Ciong Thay Sui adalah istilah dalam “Xiang Ming Xue” yang dipakai untuk menunjukkan bahwa pada tahun itu merupakan tahun yang banyak halangan bagi orang yang mempunyai umur tertentu.   Sehingga oleh orang TAO yang pinter2 itu, diusahakan untuk dicarikan suatu cara solusinya, maka ada ritual khusus “PO UN” !!!    Nah di dalam ritual2 inilah digunakan tanda/gambar khusus untuk memudahkan jalannya ritual supaya lebih sempurna.
Lantas, kalau dikatakan bahwa nama dewa2 Tay Sui yang berjumlah 60 beserta gambar (rupa) hanyalah suatu rekaan belaka, apakah ini tidak akan menimbulkan pertanyaan selanjutnya ?    Misalnya, berarti ini semua hanyalah khayalan belaka ?   Ini semua hanyalah “Kebohongan” gituh ?
Apa yang ditulis oleh Para Ahli Astronomi Tiongkok itu memang benar adanya.   Namun apa yang dilakukan oleh Para Ahli TAO juga tidak salah !!!    Hanya pemahaman kita saja yang sering kebablasan, sehingga malah menyesatkan orang lainnya.   Pengertian Bintang Thay Sui, memang seperti penjelasan diatas !!!    Namun dalam Ajaran Agama TAO, ada sistim perhitungan tahun dan peramalan yang berdasarkan posisi beredarnya bintang Thay Sui itu tadi.
Oleh karenanya, setiap manusia yang lahir pada tahun kelahirannya, mewakili arti dan posisi waktunya tersendiri.   Makanya setiap tahun pasti ada yang “Ciong” dengan tahun yang sedang berlaku.   Itupun berdasarkan perhitungan ramalan khusus !!!    Nah, untuk menetralisir efek “Ciong” tersebut, ada semacam ritual yang biasa kita sebut “Po Un”.    Disini, tentu ada Dewa2 tertentu yang bertugas khusus untuk semua itu, jadi Dewanya yah… tetap Dewa, tapi bintang Thay Sui-nya yah… tetap bintang biasa, jangan dicampur adukkan.
Hanya saja untuk lebih memudahkan, biasanya disingkat saja sebagai “Pai Thay Sui”.    Ini sebetulnya sebuah kesalahan yang salah kaprah !!!   Kalau anda tahu asal riwayat adanya “YI HUANG TA TI”, maka anda akan paham secara otomatis persoalan diatas.   Karena itu, kalau SIUTAO harusnya kita bisa menelusuri, mengapa sampai ada ritual ini dan itu secara benar !!!    Jangan asal telan saja, akibatnya kita akan mudah terjerumus ke dalam jurang ketahyulan !!!

Sejarah Asal Mula Perayaan Ceng Beng

0 komentar







Tradisi ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca : Qing Ming = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun, biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi hujan gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman Dinasti Qin, ziarah makam hanya monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.


Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib. 


Legenda 1

Hari *Ceng Beng* bermuasal dari zaman *Chun Qiu Zhan Guo *(Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad 11-3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 *Jie Qi *(sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.

Sesudah hari *Ceng Beng*, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk hidup "melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru", tak peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari *Yin *(unsur negatif) ke *Yang* (unsur positif).

Konon, sesudah Yu agung (Raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata *Qing Ming *(di Indonesia terkenal dengan *Ceng Beng*) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman tenteram.

Pada saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti Tang (618-907).

Saat *Ta Qing*, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah gairah kehidupan.


Legenda 2

Konon, jaman dahulu, terutama bagi orang-orang yang berduit dan berharta, nyekar itu tidak hanya diadakan sekali setahun, tapi bisa berkali-kali (dua kali sebulan bahkan). Dan acara ini dibuat penuh dengan kemewahan dan benar-benar mempertontonkan kekayaan. Kaum sanak keluarga ditandu ke sana lalu ke mari, diiringi dayang-dayang dan pengawal yang berjumlah banyak, makanan yang dibawa itu pasti yang enak-enak dan bunga yang disiapkan juga yang mahal dan harum-harum. 

Suatu hari, Kaisar Tang Xuanzong melihat semuanya ini seperti pemborosan massal saja. Dia pun menitahkan agar semua membatasi diri dan hanya mengadakan acara nyekar ini sekali setahun. Dan ia menetapkan hari Ceng Beng (lima belas hari setelah Chunhun, atau hari di mana matahari tiba di katulistiwa) sebagai hari baik untuk ini. Selain karena Ceng Beng adalah hari baik (arti kata Ceng Beng, atau Qing Ming, adalah “cerah dan terang”), hari ini dipilih karena banyak petani sudah selesai panen dan punya waktu senggang untuk mengunjungi makam leluhur. Jadilah Ceng Beng bukan hanya kegiatan orang kaya, tapi kegiatan untuk semua orang.


Legenda 3

Kesederhanaan Ceng Beng juga berkaitan erat dengan cerita Kaisar Cong Er dari Dinasti Tang. Seperti kisah Cina kuno lainnya, latar belakangnya adalah kudeta. Pada masa pelarian (karena berselisih dengan selir kejam) ketika masih jadi putra mahkota Cong Er ini ditemani oleh teman (dan bawahan) yang sangat setia, Jie Zhitui namanya. Saking setianya, dia rela untuk mengorbankan dagingnya supaya si pangeran ini bisa makan dan nggak mati kelaparan. Suatu hari, tiba kabar bahwa Cong Er sudah tidak perlu lari lagi, karena ibu tirinya sudah mati. Bersiaplah Cong Er untuk kembali ke istana dan jadi kaisar. Tapi Je Zhitui menolak untuk ikut balik ke istana, dan menyepi ke sebuah gunung bersama Ibunya.

Cong Er yang sudah jadi kaisar itu tetep kukuh meminta temannya balik dan hidup bahagia di istana. tapi Jie Zhitui bukannya balik ke istana malah semakin bersembunyi ke pedalaman gunung. Cong Er yang sudah habis akal menyuruh prajuritnya untuk membakar gunung, dengan maksud supaya Jie Zhitui keluar dari persembunyian. Tetapi, yang terjadi bukannya keluar, malah Jie Zhitui dan Ibunya tewas terbakar. 

Sedihlah sang kaisar. Lalu ia mencanangkan Hari Hanshi (Hari Makanan Dingin), satu hari dalam setahun (setiap tahunnya) di mana orang-orang tidak boleh memasak/memanaskan makanan dengan api. Lambat laun Hanshi pun diintegrasikan ke dalam perayaan Ceng Beng, di mana makanan yang disediakan itu dingin dan hambar.


Legenda 4

Cerita legenda yang lain menyebutkan tentang seorang Raja yang sudah bertahun-tahun pergi berperang (jaman perang antar kerajaan di Cina dulu), namun berakhir dengan kekalahan dan menjadi tawanan perang yang tidak terhormat di negeri lawan. Tapi raja ini tidak tinggal diam dan diam-diam mengumpulkan sekutu untuk mempersiapkan serangan balas dendam. Singkat cerita raja ini berhasil melakukan balas dendam dan negaranya pun kembali ke dalam tangannya.

Sewaktu ia kembali ke rumah, dia baru tahu kalau orang tuanya sudah lama meninggal — dibunuh oleh raja musuh. Dan parahnya lagi tidak ada yang tau di mana orang tua sang raja dimakamkan. Sang Raja akhirnya punya akal dan mencanangkan hari kunjungan makam leluhur. Pada hari yang telah ditentukan, semua orang di negaranya harus dan wajib nyekar. Logikanya, makam yang sepi dan nelangsa, pastilah makam orang tuanya. Sejak hari itulah, setiap tahun semua wajib nyekar ke makam leluhur.

Secara Awam, masih banyak yang belum jelas bahwa sebenarnya mengapa Ceng Beng itu selalu jatuh pada 5 April setiap tahunnya, dan bukannya mengikuti penanggalan kalender Imlek. Dalam tradisi Tionghoa, ada 2 penanggalan yang menggunakan penanggalan masehi. Yakni Ceng Beng dan Tang Che/Festival musim dingin.

Kelihatannya, kalender Tionghoa itu kalender bulan, tidak begitu halnya, karena ada faktor peredaran matahari di dalamnya, yaitu 24 posisi matahari. 1 posisi matahari adalah berjangka waktu 15 hari, ada 2 posisi matahari dalam 1 bulan. Posisi ini telah ada sejak zaman Huangdi (2697 SM, 4700 tahun lalu) didasarkan atas 12 cabang bumi yang diciptakan olehnya.

Penanggalan Tionghoa sendiri memperhitungkan peredaran matahari karena Tiongkok sejak dulu adalah negara agrikultur, mayoritas penduduk Tiongkok adalah petani dan petani harus menanam sesuai musim. Musim bergantung pada peredaran matahari, sehingga posisi matahari ditambahkan dalam kalender Tionghoa.

Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :

1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6 Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).

Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.


Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan Ceng Beng

Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. 

Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng Beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. 

Konon, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.

Kebiasaan berikutnya adalah menancapkan pohon *Willow*: konon, kebiasaan menancapkan dahan *willow*(pohon Yangliu), juga demi memperingati *Shen Nong Shi*, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan* willow *di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno "Kalau dahan *willow* hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan *willow* kering, cuaca cerah". *Willow* memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.

Sedangkan sejarah pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.

Kebiasaan lain adalah bermain ayunan *Qiu Qian*: ini adalah adat kebiasaan hari *Ceng Beng* zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan selendang atau tali.

Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh dunia.

Selain itu ada kebiasaan bermain *Cu Ju* (sepak bola kuno): *Ju* adalah semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. *Cu Ju *menggunakan kaki untuk menyepak bola (Mirip sepak bola saat ini). Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh orang-orang pada saat *Ceng Beng *pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh *Huang Di *(kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih kebugaran para serdadu.

Ada juga kebiasaan untuk Menanam pohon: sebelum dan sesudah *Ceng Beng*, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam pohon di kala *Ceng Beng*. Ada orang menyebut hari *Ceng Beng* sebagai "hari raya penanaman pohon". Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.

Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming.

Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyat pun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya. (Dalam kisah ini agak berkaitan dengan Legenda 4 diatas. Namun karena ditemukan pada literatur yang berbeda, penyusun tidak berani mengambil kesimpulan sendiri. Mohon bagi yang lebih paham ceritanya memberikan masukan).

Seperti perayaan lainnya, Ceng Ceng juga memiliki makanan khas seperti makan telur yang kulitnya sudah dilukis, tapi untuk telur yang diukir tidak dimakan. Selain itu ada beberapa yang mungkin tidak pernah ada di Indonesia ini seperti makanan dari daun Ai yang menjadi ciri khas suku Khe, bubur dingin, ciri khas rakyat dibawah kaki gunung Mian, serta Qing tuan adalah makanan khas Qingming dari daerah Suzhou.

Pesan Moral Perayaan Ceng Beng :

Festival Ceng Beng pada akhirnya terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmony, setia, berbakti, dan juga kebersamaan. Dan hal itu tidak hanya ada pada festival Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua festival Tionghoa yang ada.

Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agar tidak mencoreng nama leluhur. Semoga pada perayaan festival Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.


Sumber Penulisan:
1. Berdasarkan cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Indonesia.
2. 


http://www.hoktekbio.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:qing-ming-ceng-beng&catid=27:ritual-a-budaya&Itemid=72
3. http://www.wihara.com/forum/artikel-buddhist/6742-cengbeng.html
4. http://www.chinapage.com/festival/qingming.html
5. TRADITIONAL CHINESE CULTURE by Qizhi Zhang.
6. The Legend of the Kite: A Story of China(Make Friends Around the World)by Kuiming Ha, Yiqi Ha. Published by Soundprints 
7. http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-41419.html
8. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
9. Dong Zhou Lie Guo Zhi (東周列國志), Feng, Menglong, 1574-1646, 2008.(pertama terbit 1752, Shanghai shu ju)
10. Buletin Maya Indonesia Dharma Mangala, 9 Maret 2004, tahun I, no 7
11. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410

Asal usul adanya Ciam Sie dan persembahan pada Dewa

0 komentar
Oleh: Efendi
Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Guru-Guru agama untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.
Tetapi pada bulan bulan-bulan tertentu, para Guru itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Untuk itu para Guru membuat Ciam Sie supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Gurunya tidak berada di tempat.
Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Guru tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Guru-Guru tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.
Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.
Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarangpun masih ada.
Menurut anda, dapat dibenarkankah persembahan Sam Seng ini?
Sebenarnya Sam Seng tidak digunakan sebagai persembahan kepada Dewa.
Apa alasannya?
Mari kita pikirkan masing-masing.
Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.
Demikianlah cerita asal usul adanya Ciam Sie dan persembahan pada Dewa, semoga bermanfaat.
Sumber: www.siutao.com

Taokuan (tempat ibadah umat Tao) di Indonesia

0 komentar
太平宫


SINAR SUCI
Thay Ping Gong
Komp. Duta Harapan Indah Blok ii no. 36
Jln Teluk Gong Raya
JAKARTA 14450
Tel: 021-6682557

万福宫
SINAR MULIA
Wan Fu Gong
Jl. Cibadak 225D
BANDUNG
JAWA BARAT

正道宫
DEWA AGUNG
Zheng Dao Gong
Lingkaran Selatan 1 No. 05
RT03/RW06 Kel. Pal
Merah Kec. Jambi Selatan
JAMBI 36139

清静宫
SUCI MULIA
Qing Jing Gong
Perum Gading Jaya
Blok E No. 9,
BANDAR LAMPUNG
Tel: 0721-256 491

紫霄宫
SINAR BAKTI
Zi Xiao Gong
Jl. Kenangan atas No. 439
Belinyu
BANGKA 33254
Tel: 0715-321002

炫光宫
SINAR AGUNG TAO
Xuan Guang Gong
Jl. Letda A. Rojak
Lorong Bakti Jaya No.52
RT18 RW 05, Kel. Duku, Kec. IT II
Palembang
SUMATERA SELATAN

慈爱道观
CINTA KASIH
Ci Ai Dao Guan
Jl. Letkol. Sumarjo No. 89
MOJOKERTO
JAWA TIMUR
Tel : 0321-330188

清平宫
SINAR DAMAI
Qing Ping Gong
Jl. Flores No. 4
MAKASSAR
SULAWESI SELATAN
Tel: 0411-316329

净化宫
SINAR MURNI
Jing Hua Gong
Kompleks Sekip Mas BLOK C No. 9
JALAN SEKIP – MEDAN

正善宫
SINAR SEJATI
Zheng Shan Gong
Jalan Sudirman No. 27 (SAMPING KANTOR ACA)
BINJAI

万福宫
SINAR TAO
Wan Fu Gong
Jl. Madu Koro AA/BB
SEMARANG
JAWA TENGAH
Tel: 024-7614319

太清宫
MAHA SUCI
Thay Qing Gong
Jl. Dukuh Kupang Barat I No. 21
Darmo – SURABAYA
JAWA TIMUR
Tel: 031-5675895

SINAR CERAH
Jln. Adi Sucipto Gang Siaga no. 123-124
kec.sungai raya, kab. kuburaya
Pontianak
Kalimantan Bara